Gw pernah menggugat keputusan
Allah. Ga terima dengan pencapaian yang
tak sebanding dengan apa yang telah gw relakan tercabut dari kehidupan yang
harusnya bisa lebih tampak indah. Allah
tidak adil. Begitu.
Lalu datang teman-teman yang
manis mengatakan
“istiqfar”
Yang lain mengatakan “Allah tidak
akan menguji hamba Nya yang tak sanggup”
Lalu yang lain mengatakan “ukhti
pasti sanggup melewatinya, semua ini hanya ujian kenaikan kelas, Allah uji ukhti karena Dia menyayangi ukhti”
Lalu yang paling ‘senior’mengatakan
“Meragukan kasih sayang Allah
dengan menggugat Nya adalah tanda lemahnya iman”
Dan kata-kata yang paling senior
itu pula yang melesatkan kejengkelan gw sampai level terhebat.
“apa?”
“kalian bilang tanda lemahnya
iman, macam kalian punya orang dalam aja disurga dengan beraninya mengatakan gw
lemah iman dan itu artinya kalian sedang bilang bahwa iman kalian seperkasa
bukit Uhud”
“percaya diri sekali kalian,
lihat diluar sana. Metamerfosa iman itu
tidak ada rumusnya. Ga ada yang jamin lu bisa suci begini terus. Itupun kalau lu nya emang suci dimata Allah”
“yang gw butuhkan adalah solusi
dari masalah gw, bukan diceramahi macam gw ini generasi Firáun aja”
Sekalipun semua kata-kata itu menyalak-nyalak
dikerongkongan. Beruntung gw masih bisa
tahan, demi menghindari debat. Sesungguhnya
gw ini ga suka debat dan sering nelan semprotan orang lain sampai asam lambung
naik lalu dirawat karena tifus.
Lalu, gw say good bye untuk
sementara dengan barisan manusia yang seolah punya orang dalam disurga
itu. Karena tidak mencintai permusuhan,
maka gw melenggang pergi.
***
Dari zaman membeli majala Tarbawi
hasil berbagi dengan uang jajan yang jumlahnya tak seberapa, sampai majalah
Tarbawi ga terbit lagi, satu halaman yang gw paforitkan adalah serial
kepahlahwanan yang ada dihalaman paling belakang.
Dan sekarang, gw masih menyimpan
edisi terbitan dari tahun 2000. Membuka-buka
salah satu dari sekian tumpukan majalah tua itu. Satu-satunya majala yang gw suka bahasanya
dan selalu menunggu untuk terbit.
Judulnya
DAYA TARIK YANG MENGUNDANG
MUSIBAH
Dan judul tulisan dihalaman
paling belakang itu adalah PESONA KETIGA
Umar bin Abdul Aziz membalik
kehidupannya. Dia telah memulai,
menanggalkan baju sutera dan semua symbol kemegahan.
“Reformasi peradaban harus
dimulai dari diri sendiri”
Begitu solusi Umar bin Abdul Aziz
terhadap keterpurukan kehidupan peradaban. Lalu setelahnya dia menemui Istri yang dia cintai. Dan pertengkaran sengit itu dimulai.
“semua ini bukan harta darimu,
Umar. Ini warisan ayahku”
Begitu jawaban Fatimah, untuk
permintaan Umar agar sang Istri menyerahkan segala perhiasan mewah yang sangat
disayanginya.
Umar adalah Umar, idealismenya
diatas segala daya tarik.
“Perhiasan itu dibeli ayahmu dari
kas Negara, kau serahkan kembali ke kas Negara atau kita berpisah?”
Begitu langkah Umar bin Abdul
Aziz mereformasi keterpurukan wajah Islam, lalu teman gw yang tadi diam saja
saat gw dihakimi beramai-ramai mengirim
kalimat PERPISAHAN yang sama sadisnya dengan kalimat Umar.
“GW TIDAK BUTUH UKHTI BERUBAH,
SILAHKAN PILIH JALAN SENDIRI. KITA
TERBEBAS MEMILIH JALAN, SEPERTI KEBEBASAN YANG ALLAH BERIKAN UNTUK MALAIKAT DAN
IBLIS”
Itu awalnya gw berfikir, menjadi
baik dan membaiki keadaan itu juga harus dipaksa. Kadang kala kita harus memaksakan diri untuk
menerima sederetan ujian yang rasanya membunuh.
Memaksa diri harus meyakini bahwa endingnya pasti indah, kalau belum
indah berarti belum ENDING.
Dimana kadang pendekatan
penghakiman itu juga tak tepat untuk segala kondisi. Dijutekin atau diceraikan adalah revolusi
perbaikan.
Lalu gw mulai berlahan berhenti
menggugat Allah. Kalau belum indah, itu
belum ENDING namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar