Rabu, 08 November 2017

Menggugat Allah


Gw pernah menggugat keputusan Allah.  Ga terima dengan pencapaian yang tak sebanding dengan apa yang telah gw relakan tercabut dari kehidupan yang harusnya bisa lebih tampak indah.  Allah tidak adil.  Begitu.

Lalu datang teman-teman yang manis mengatakan

“istiqfar”

Yang lain mengatakan “Allah tidak akan menguji hamba Nya yang tak sanggup”

Lalu yang lain mengatakan “ukhti pasti sanggup melewatinya, semua ini hanya ujian kenaikan kelas,  Allah uji ukhti karena Dia menyayangi ukhti”

Lalu yang paling ‘senior’mengatakan

“Meragukan kasih sayang Allah dengan menggugat Nya adalah tanda lemahnya iman”

Dan kata-kata yang paling senior itu pula yang melesatkan kejengkelan gw sampai level  terhebat.

“apa?”

“kalian bilang tanda lemahnya iman, macam kalian punya orang dalam aja disurga dengan beraninya mengatakan gw lemah iman dan itu artinya kalian sedang bilang bahwa iman kalian seperkasa bukit Uhud”

“percaya diri sekali kalian, lihat diluar sana.  Metamerfosa iman itu tidak ada rumusnya. Ga ada yang jamin lu bisa suci begini terus.  Itupun kalau lu nya emang suci dimata Allah”

“yang gw butuhkan adalah solusi dari masalah gw, bukan diceramahi macam gw ini generasi Firáun aja”



Sekalipun semua kata-kata itu menyalak-nyalak dikerongkongan.  Beruntung gw masih bisa tahan, demi menghindari debat.  Sesungguhnya gw ini ga suka debat dan sering nelan semprotan orang lain sampai asam lambung naik lalu dirawat karena tifus.



Lalu, gw say good bye untuk sementara dengan barisan manusia yang seolah punya orang dalam disurga itu.  Karena tidak mencintai permusuhan, maka gw melenggang pergi.



***

Dari zaman membeli majala Tarbawi hasil berbagi dengan uang jajan yang jumlahnya tak seberapa, sampai majalah Tarbawi ga terbit lagi, satu halaman yang gw paforitkan adalah serial kepahlahwanan yang ada dihalaman paling belakang.

Dan sekarang, gw masih menyimpan edisi terbitan dari tahun 2000.  Membuka-buka salah satu dari sekian tumpukan majalah tua itu.  Satu-satunya majala yang gw suka bahasanya dan selalu menunggu untuk terbit.

Judulnya

DAYA TARIK YANG MENGUNDANG MUSIBAH


Dan judul tulisan dihalaman paling belakang itu adalah PESONA KETIGA



Umar bin Abdul Aziz membalik kehidupannya.  Dia telah memulai, menanggalkan baju sutera dan semua symbol kemegahan. 

“Reformasi peradaban harus dimulai dari diri sendiri”

Begitu solusi Umar bin Abdul Aziz terhadap keterpurukan kehidupan peradaban. Lalu setelahnya dia menemui  Istri yang dia cintai.  Dan pertengkaran sengit itu dimulai.

“semua ini bukan harta darimu, Umar.  Ini warisan ayahku”

Begitu jawaban Fatimah, untuk permintaan Umar agar sang Istri menyerahkan segala perhiasan mewah yang sangat disayanginya.



Umar adalah Umar, idealismenya diatas segala daya tarik.



“Perhiasan itu dibeli ayahmu dari kas Negara, kau serahkan kembali ke kas Negara atau kita berpisah?”



Begitu langkah Umar bin Abdul Aziz mereformasi keterpurukan wajah Islam, lalu teman gw yang tadi diam saja saat gw dihakimi beramai-ramai  mengirim kalimat PERPISAHAN yang sama sadisnya dengan kalimat Umar.



“GW TIDAK BUTUH UKHTI BERUBAH, SILAHKAN PILIH JALAN SENDIRI.  KITA TERBEBAS MEMILIH JALAN, SEPERTI KEBEBASAN YANG ALLAH BERIKAN UNTUK MALAIKAT DAN IBLIS”



Itu awalnya gw berfikir, menjadi baik dan membaiki keadaan itu juga harus dipaksa.  Kadang kala kita harus memaksakan diri untuk menerima sederetan ujian yang rasanya membunuh.  Memaksa diri harus meyakini bahwa endingnya pasti indah, kalau belum indah berarti belum ENDING.



Dimana kadang pendekatan penghakiman itu juga tak tepat untuk segala kondisi.  Dijutekin atau diceraikan adalah revolusi perbaikan.



Lalu gw mulai berlahan berhenti menggugat Allah.  Kalau belum indah, itu belum ENDING namanya.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar