Nama
ayah atau ibu ditulisin dijalan raya sepulang sekolah oleh teman
zaman SD itu artinya ejekan atau ngajak berantem. Gw ngalamin fase
ini. Kalau kalian ngalamin juga, berarti kita sejaman masa
kanak-kanaknya. Biasanya setelah ditulis dijalan raya, nama-nama itu
akan diinjak sambil meloncat-loncat dan meneriakkan nama yang
ditulis. Tak jarang juga hal-hal seperti ini memantik perkelahian dan
saling jambak antar emak-emak. Seperti episode lanjutan dari
perkelahian anak-anak mereka sepulang sekolah.
Dan
sebagai ketua geng PUNCAK di SD negeri 36 Limau Sundai, gw tidak
hanya merasa di bully kalau nama amma dan appa gw yang ditulisin
dijalan, tapi juga nama orang tua dari anak-anak yang tergabung
kedalam geng gw. Geng anak-anak yang butuh perlindungan. Karena kami
adalah group anak-anak yang paling jauh tempat tinggalnya dari
sekolah. Sekitar 9 km. Sedangkan anak-anak lain adalah penduduk
sekitar SD itu saja. Kami memilih sekolalah sejauh ini bukan tanpa
alasan, karena SD 36 Limau Sundai adalah SD Impres terunggul zaman
itu. Dan orang tua kami menginginkan kami bersekolah ditempat
terbaik, walau kenyataannya ada hal yang luput diperhatikan. Bahwa
kami menjadi bulan-bulanan anak-anak sekitar karena kemungkinan kami
mendapat pembelaan dari orang tua sangatlah tipis. Untuk bisa
bertahan dan merasa aman, maka kekompakan adalah senjata utama yang
bisa kami andalkan selain bersabar.
Orang
paling usil se SD itu bernama Rudi, Andi dan Gustian. Karena Rudi dan
Andi pulang kearah berlawanan, maka teman terusil yang sangat senang
mengusili kami dengan menuliskan nama orang tua kami dijalanan adalah
Gustian. Sehingga frekuensi berantem gw zaman SD yang paling sering
sama Gustian ini. Padahal kalau difikir-fikir sekarang kenapa juga
harus marah dengan nama orang tua kita yang ditulis dijalan. Tapi
saat itu, tidak ada rasanya yang lebih hina saat nama orang tua kita
ditulis dijalanan, trus teman yang menulis jingkrak-jingkrak
cekikikan sedangkan kita diam tertunduk. Mungkin rasanya seperti
melihat copet dimetromini lagi beraksi tapi kita hanya bisa diam.
Jika tidak melakukan pembelaan, maka kami akan merasa bersalah telah
durhaka kepada para orang tua kami.
Maka
rutinitas pulang sekolah gw adalah berantem sama Gustian dan
menenagkan para raknyat kerajaan PUNCAK yang gw pimpin jika menangis
melihat nama ayah-ibunya tertulis dijalanan sambil diinjak-injak dan
meloncat-loncat diatasnya.
Sedikit
tentang Gustian :
Gustian
tinggal bersama nenek yang sayang banget sama dia, ayah dan ibunya
konon bekerja diluar kota dan dia akan lebih badung kalau neneknya
datang untuk menjemput kesekolah. Dibawah proteksi neneknya yang
berpenampilan menakutkan bagi kami, Gustian tumbuh menjadi lawan yang
kami tak sanggup melawannya. Paling banter hanya adu mulut. Itulah
yang gw lakukan setiap hari.
Suatu
hari saat dikelas IV, kesabaran gw sudah habis. Harus berantem terus
dengan orang yang sama dan alasan yang sama pula. Strategi diatur. Gw
dan geng (anak-anak yang butuh perlindungan sebenarnya), mengatur
langkah-langkah membekuk Gustian. Sala satu strategi adalah bertindak
saat pengawalan neneknya tidak ada. Alias si nenek tidak datang
menjemputnya, dan biasanya itu hari jumat. Kita akan eksekusi si
jahil ini sampai bertekuk lutut dan kapok, seperti biasa setting
tempatnya adalah jalan sepanjang SD – Simpang Masjid. Jalan antara
SD 36 Limau Sundai dengan pertigaan menuju rumah Gustian. Tempat kami
geng Puncak menarik nafas lega, karena sudah berpisah dari cucu manja
dan jahil ini.
Semua
berjalan sesuai rencana, dan Gustian tetap berulah menuliskan nama
ayah dan ibu salah seorang dari personil kami.
Strateginya
adalah akan ada sekelompok anak yang harus berjalan lebih dulu,
begitu keluar kelas langsung lari dan membuat markas dipertengahan
jarak SD – Simpang Masjid. Sedangkan gw dan beberapa anak lain
berjalan lebih belakangan. Sehingga posisi Gustian and the Geng
berada didalam pengawasan kami.
Bagitu
dia selesai membuat nama ayah dari salah seorang diantara kami, gw
langsung mengejar dia sekuat tenaga, kaget dikejar dadakan oleh
beberapa orang dia pun lari tunggang-langgang. Dan dipertengahan
jarak SD – Simpang Masjid sudah menunggu anggota geng Puncak siap
dengan posisi menghadang. Melihat semua personil geng Puncak
tiba-tiba begitu berani, maka semua geng Gustian pun mencoba lari
berpencar kocar kacir kearah tak menentu. Sedangkan geng Puncak sudah
terinstruksi bahwa sasaran utama kami adalah gustian dan kalau bisa
tidak ada korban selain dia.
Begitu
Gustian tertangkap pasukan penghadang, gw dan beberapa teman lain pun
tiba. Sangat tidak etisnya semua pasukan gw mundur teratur,
menyisakan gw dan Gustian face to face. Melihat kejadian itu gw
bergidik. Anak perempuan kurus macam gw harus berhadapan satu lawan
satu sama anak laki-laki bongsor macam Gustian. Oh God.
Kabur?
Gw
sempat mempertimbangkan kata itu ditambah pula kecewa pada pasukan gw
yang ternyata keberaniannya tak segagah saat briefing terakhir. Tapi
itu artinya nyari gara-gara dan derita untuk kedepannya. Berhubung
Gustian didepan gw juga terlihat habis kegarangannya dan tampak
melempem seperti akan pari kena jaring, maka keberanian gw menjalar
naik, seketika gw merasa jagoan. Merasa seorang pahlawati dari negeri
jauh bernama Puncak dengan segala pernak-pernik siap tempur, baju
zirah, tameng, pedang dan busur panah. Gustian yang tambun jadi
begitu kecil didepan gw.
Andaikata
sebaliknya, jika dia tetap segarang biasa, mata dibuat melotot dan
tinju dari tangan tambunnya teracung, mungkin gw akan bersandiwara
pura pura terjatuh dan pingsan saja. Agar dia kabur dan berteriak
kegirangan, telah membuat benteng terakhir geng puncak jatuh pingsan.
Tapi melihat dia ciut maka gw jadi merasa punya peluang. Eh tiba-tiba
Gustian ini menangis memanggil neneknya sekuat suara. Membuat semua
geng gw tertawa terpingkal-pingkal. Ops, dia juga masih sempat memaki
gw dengan menyebut nama appa.
Ternyata
keberaniannya hilang dibawa kabur oleh anggota gengnya yang sudah
berlarian dipematang sawa dan sebagian berbalik menonton apa gerangan
yang akan terjadi pada Gustian dari Jauh. Dia menangis menjerit-jerit
tapi tetap merapalkan nama ayah dan ibu kami. Sepertinya dia punya
waktu khusus untuk menghafal nama-nama itu. Lihat saja, dalam kondisi
tertekan luar biasa seperti ini, dari sela-sela jeritannya tetap
memekikkan nama orang tua anggota geng Puncak. Tidak ada ampun lagi,
dengan kondisi terkepung aja dia masih merapal nama-nama suci yang
membuat harga diri kami tercabik-cabik. Tidak bisa diampuni.
Pertarungan
dimulai, gw mendorong Gustian sampai terjungkang ke jalan, merebut
tas nya lalu melempar ke sawah (zaman itu masih ada sawah dipinggir
jalan SD – Simpang Masjid). Saat Gustian mencoba berdiri gw dorong
lagi, dorongan kali ini kearah sawah. Dia menggelinding dari pematang
sawah yang sekitar 40cm lebih rendah dari jalan, lalu terjungkal
kesawah yang siap untuk ditanamin padi. Itu berarti lumpur sawahnya
sudah lembut dan basah. Sehingga seluruh badan Gustian penuh lumpur
kecuali yang dialiri air mata, darah dari pojok bibirnya dan ingus.
Melihat bibir Gustian berdarah, gw jadi merinding.
“lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii”
Dan
anggota geng puncak lari berhamburan meninggalkan Gustian yang
meraung-raung dari dalam sawah. Tidak satupun dari kami yang mencoba
melihat kisah apa yang terjadi dibelakang sana.
Kejam?
Ah
itu kan kenakalan masa kanak-kanak.
Lalu
esok paginya sebelum bel, gw menggigil ketakutan di cercah nenek
Gustain didepan kelas. Sinenek yang menakutkan itu datang lebih pagi
sebelum guru-guru pada datang. Agar punya cukup waktu untuk
membalaskan dendam cucu kesayangannya yang kami habisi kemaren siang.
Gw merapal surat Al-Baqara ayat 18
“shumum
bukmum 'umyun fahum layarjiun”
artinya
: Mereka Tuli, Bisu dan Buta sehingga mereka tidak dapat kembali
Kata
nenek gw, jika ada anjing galak, orang jahat, orang gila, atau
binatang buas yang menjahati kita atau mengejar kita, maka bacakan
ayat ini setelah surat Al-Fatiha. InshaAllah akan datang pertolongan
Allah.
Nah,
yang gw harapkan saat itu benar-benar seperti apa arti dari ayat ini,
gw berharap nenek Gustian Tuli, Bisu dan buta seketika. Agar gw bisa
menelan ludah dan menarik nafas yang rasanya telah beberapa menit
terhenti oleh gelegar raungan si nenek.
Disisi
lain gw berharap bel segera berbunyi dan guru masuk menyuruh nenek
Gustian yang nyaris melahap gw ini meninggalkan kelas. Gustiannya
sendiri ga masuk sekolah, meriang kata neneknya. Dan ketakutan gw
bertambah, bahaya kalau dia sampai kenapa-napa. Gw dan geng bisa
dilumat jadi terasi.
Endingnya
gw disidang diruang guru dan selanjutnya tidak ada lagi aksi tulis
nama orang tua dijalan sepanjang SD – Simpang Masjid. Gustian kapok
selamanya.
Aisyah
7
Januari di Tangerang